Netra gadis itu fokus menatap teman-temannya yang sedang melakukan presentasi di depan. Begitu pula raut mukanya nampak serius memperhatikan, sungguh berbeda dengan pikirannya saat ini yang benar-benar kosong.
Sangat membosankan sekali rasanya bagi Sabill yang telah presentasi minggu lalu. Tangannya sangat gatal ingin menorehkan sesuatu diatas kertas. Namun entah mengapa Sabill tidak seperti biasanya. Biasanya ketika bosan gadis itu sudah menghasilkan banyak coretan diatas kertas yang membentuk sebuah gambar yang indah. Berbeda dengan kali ini, rasanya ia benar-benar sedang tidak mood untuk menggambar apapun.
Suasana hatinya sedikit berantakan, karena kemarin ia telah menulis sebuah surat untuk kedua orang tuanya yang sangat ia rindukan. Sebetulnya hanya sebuah surat klise yang berisi pertanyaan sepele seperti menanyakan kabar dan kondisi mereka. Namun bukan itu yang benar-benar membuat hati Sabill berantakan, melainkan ada beberapa hal lain yang tidak bisa ia ungkapkan dan selalu dipendam selama ini.
Perasaan mengganjal itu semakin besar dan tidak bisa ia bendung lagi. Tanpa sadar tangannya yang memegang pena itu mulai menorehkan tinta diatas kertas kosong yang menghasilkan untaian kata dan kalimat-kalimat yang tak pernah ia utarakan sebelumnya.
Mata Sabill memerah, air matanya mulai menggenang di pelupuk matanya. Tangannya bergetar dan nafasnya pun menderu. Rasanya dunia miliknya hancur dalam sekejap dan tanpa sadar air mata mulai berguguran membasahi kertas yang berisikan untaian indah itu. Indah hanya di awal dan akhir, ada curahan kepelikan hidup di tengah guratan itu.
Semakin lama Sabill makin hanyut dalam kekacauan dan lupa akan sekitarnya. Sampai-sampai ia tidak menyadari ada sesosok yang menghampirinya dari belakang.
“Bill!”
Suara lelaki itu membuyarkan pikiran Sabill dan dengan segera ia menghapus air mata yang mengalir supaya tidak dicurigai. Ia menoleh pada arah suara itu dengan raut muka bertanya dan satu alisnya terangkat.
“Tugas Bahasa Inggris lu mana? Mau gua kumpulin.” Noah kembali mengulang pertanyaannya yang tadi.
“Ah, iya bentar.” Tangan gadis itu langsung merogoh laci meja dan mencari-cari secarik kertas yang sudah ia siapkan untuk dikumpulkan itu.
“Nih tugasnya, No.” Tanpa basa-basi Sabill langsung menyerahkannya kepada Noah yang ada di hadapannya itu.
Tangan Noah menerima secarik kertas itu dan tanpa sengaja matanya membaca sekilas isi surat yang dibuat oleh Sabill itu.
“Lu lagi kangen sama ortu ya?”
“Kayaknya gitu.”
Noah merasa Sabill sedikit tidak nyaman atas pertanyaan itu, oleh karena itu ia memutuskan untuk pergi meninggalkan meja Sabill supaya tidak terasa canggung.
“O-oh … ok, gua cabut dulu ya.”
Sebetulnya banyak yang ingin Noah tanyakan, namun semua itu ia simpan di dalam pikirannya.
— jwnolii